Filosofi Karadudok: Belajar Bijak dari Alam (2)



Kemarin kita sudah mengetahui—bahkan meresapi—filosofi dari Batang dan Pucuk Karadudok. Dalam
tulisan kali ini kita akan menyebutkan ‘sedikit’ filosofi bagian yang paling urgen yakni buah Karadudok.
Warnanya yang menghijau ketika masih muda serta hitam kemerah-merahan tatkala matang mampu
menarik hati siapa yang melihatnya. Seabrek filosofi bisa kita petik dari buahnya tersebut:

Proses Pematangan

Sama seperti buah-buahan pada umumnya, Karadudok memerlukan waktu yang cukup panjang untuk
melakukan pematangan. Setidaknya kita bisa mengambil contoh bahwa kehidupan ini berproses. Tidak
ada yang instan. Butuh kesabaran yang ekstra untuk bisa sampai ke puncak cita-cita yang telah
dicanangkan.

Proses penantian yang cukup panjang tersebut merupakan usaha untuk menjadi buah yang sempurna,
bermanfaat bagi makhluk lain terutama bangsa burung. Karududok memang lahan yang sangat pas
untuk berburu rezeki bagi bangsa burung. Bisa dikata, musim Karadudok adalah musim yang sangat
dinanti-nanti oleh teman-teman di kampung. Pasalnya, selain memetik buah, mereka sekaligus berburu
burung dengan memasang getah (dalam dialek Bangka dikenal dengan istilah mulot).

Nah, kita sebagai umat yang terpilih, harus berupaya juga untuk memberikan manfaat bagi orang
banyak. Bukankah Nabi juga akan member gelar “sebaik-baik ummat” bagi siapa saja yang bermanfaat
bagi orang lain.Kata kiai di pondok, jadilah seperti lebah yang setia menghasilkan madu. Memberi
manfaat bagi orang lain. Bahkan bisa mengobati segala macam penyakit. Khoirunnas anfa’uhum linnas.

Mahkota buah

Di sini saya menyebutnya mahkota karena bentuknya mirip mahkota Raja. Singkatnya, mahkota tersebut
merupakan lelebihan yang mengelilingi ujung buah. Membuat buah semakin cantik (lebih jelasnya bisa
langsung lihat gambar).
Begitu pula kita, memiliki mahkota yang berupa otak. Seorang Ilmuan Barat menyebutkan bahwa otak
adalah raksasa tidur. Coba kita bayangkan, mulai kita muncul ke dunia hingga sekarang, otak mampu
menyimpan jutaan bahkan milyaran data informasi. Tak ada ceritanya otak menolak informasi lantas
memori penuh. Yang ada hanya otak menolak informasi sebab tidak sejalur dengan akal. Itu saja.

Hanya saja kita sering mengabaikan mahkota tersebut. Malas untuk memutar dan mengelola otak.
Padahal Allah sudah mengisyaratkan dalam Al-Quran dengan diksi “Afala yatafakkarun” (Apakah mereka
tidak berpikir?). Entahlah.
Akhiran, semoga kita tergolong orang yang selamat sebab memikirkan ciptaan-Nya. Termasuk
memikirkan filosofi Karadudok. Semoga.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama