Pengarang : Zamakhsyari
Dhofier
Penerbit : LP3ES
Tahun Terbit : 1994
Dalam buku Islam
Observed, Geertz pernah mengungkapkan bahwa keadaan dunia pesantren itu
hanya bergelut dengan “kuburan dan ganjaran”. Disisi lain Deliar Noer juga tak
kalah serius dalam menumbuhkan kesalahpahaman tentang kolot di Indonesia.
Dengan lantang ia berargumen bahwa muslim–kaum santri—Indonesia pada umumnya
tidak mengikuti para pendiri madzhabnya melainkan membatasi diri terhadap
ajaran-ajaran para imam berikutnya yang banyak menyeleweng dari ajaran para
pendiri madzhab itu sendiri (Modernist Muslim
Movement in Indonesian:1973).
Fakta di atas adalah salah satu dari berjubel alasan
Zamahsyari Zofier, seorang antropologi Indonesia, menjadikan pesantren sebagai
tema disertasi doktor saat masih kuliah di The Australian National University, Australia.
Menurut beliau, kedua pernyataan di atas sangat berlebih-lebihan dan subyektif jika
dikaitkan dengan fakta yang ada mengenai pesantren di Indonesia (hal:12).
Sebenarnya alasan yang paling mendasar mengenai lahirnya buku yang sudah
mencapai angka cetak ke-9 ini adalah terlahirnya pola pikiran Islam modern yang
yang kualitasnya rendah. Hal itu disebabkan oleh antara pola hidup elitisme Islam
perkotaan dengan pola kesederhanaan dan kebersamaan di pedesaan.
Di samping itu, secara garis besar, sistem penulisan
buku ini terbagi menjadi sepuluh bab yang menggambarkan pesantren dari berbagai
aspek. Seperti pada bab dua, penulis meneliti awal-mula masuknya Islam ke
Indonesia yang tak lepas dari peran penting pesantren yakni pada tahun 1345 M.
Hal ini terbukti dengan adanya kunjungan
Ibnu Batthutoh ke Indonesia pada saat itu untuk bertandang ke Kesultanan Pasai
dan adanya penemuan inskripsi pada batu nisan hamzah Fansuri di pangkalan data Thesaurus d’epigraphie Islamique (hal
28).
Sedangkan di bab ketiga dan keempat, penulis menjelaskan
perihal internal pesantren yang mengulas ciri-ciri umum serta elemen-elemen
yang terdapat dalam ruang lingkup pesantren. Seperti, sebuah pesantren harus
memiliki asrama tempat tinggal santri atau mahasiswa yang belajar di lembaga
tersebut. Di bab ini, penulis membandingkan beberapa lembaga yang ada di Jawa seperti
Pondok Pesantren Tebuireng, Tambak Beras, dan Ploso dengan pusat lembaga pengajaran
islam tradisional yakni Al-Azhar, Kairo (hal:83).
Untuk bab ketujuh, penulis lebih menyoroti tradisi
amaliyah mayoritas kiai Indonesia yang berupa tarekat. Setidaknya, ada beberapa
tarekat yang berkembang di Indonesia saat ini seperti Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat
Siddiqiyah, Tarekat Wahidiyah, dan Tarekat Mu’tabarah Nahdliyyah. Menurut
penulis, berkembangnya beberapa terekat tersebut bermula pada abad ke-16. Hal
ini senada dengan yang diungkapkan oleh Profesor Ringkes bahwa pada saat itu,
Tarekat Sattariyah mulai bercokol dan
dikembangkan oleh syekh Abdurrauf Singkel kemudian menyebar ke Jawa Barat dan
beberapa provinsi di Indonesia (hal:222).
Akhirnya, secara global,buku
ini—menurut saya—sangat “bergizi”. Sebab, selain berbagai observasi langsung ke
lapangan, penulis juga menuliskan footnote
(catatan kaki) setiap buku yang dikutip sehingga memudahkan pembaca untuk
merujuknya ke sumber aslinya. Jadi, sangat tidak berlebihan jika saya katakan
bahwa buku ini merupakan “referensi utama” bagi siapa saja yang ingin
mengetahui seluk-beluk pesantren di Indonesia.
Tags:
Tradisi pesantren